Infoselebes.com. Palu – Polemik praktik binis disektor perkebunan sawit skala besar Kembali mencuat, kali ini kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) yakni PT Tamaco Graha Krida (TGK) yang diduga terlibat dalam menjalankan praktik bisnis dengan masa izin yang telah berakhir.
Wakil Ketua II DPRD Provinsi Sulteng, Syarifudin Hafid, menjelaskan dibutuhkan keseimbangan dalam menumbuhkan perekonomian termasuk pembangunan infrastruktur, dengan menjaga hak-hak masyarakat sehingga cita-cita kita yang terus mendorong kesejahteraan bagi masyarakat bisa tercapai.
Menurutnya, Pemerintah sejatinya memiliki tugas untuk memajukan daerah mencapai kesejahteraan dan melanjutkan pembangunan, namun dibalik itu tidak boleh kemudian mengesampingkan kepentingan masyarakat yang berhak mendapatkan kepastian untuk tidak tergusur dari tempat tinggalnya dan kehilangan ruang ekonominya.
Tudingan ini sebelumnya dilontarkan oleh kelompok masyrakat sipil Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) yang dimotori oleh Aktivis Perempuan Pejuang Agararia dan Pembela, Eva Bande. Ia menuding perusahaan tersebut masih beroperasi meski izin Hak Guna Usaha (HGU)-nya telah berakhir pada Desember 2024, sehingga diduga kuat beroperasi secara ilegal.
“Praktik seperti ini membuktikan ketidakpatuhan perusahaan terhadap regulasi. Jika aturan saja mereka abaikan, apalagi hak-hak rakyat,” tegas Eva Bande. Dalam pemberitaan media, 13/01/2024
Wakil Ketua II DPRD Sulteng, yang juga representatif masyarakat Morowali bersaudara, mengatakan bakal memamanggil pihak perusahaan PT Tamaco, BPN Morowali, Bupati Morowali dan BPN Provinsi Sulteng untuk dapat membicarakan persoalan yang mencuat saat ini, ia juga menyarankan untuk kelompok masyarakat sipil melengkapi segala bentuk data yang bisa dipertanggung jawabkan sebagaimana tudingan terhadap perusahaan.
Ia menambahkan,perusahaan harus dipastikan kepatuhannya terhadap regulasi yang telah ada, yakni Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2015 terkait Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 42 tentang Perkebunan menyebut, kegiatan usaha budidaya tanaman perkebunan dan/atau usaha pengolahan hasil perkebunan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau Izin Usaha Perkebunan (IUP). Namun, Putusan MK Nomor 138 Tahun 2015 telah mengubah kalimat dan substansi Pasal 42 tersebut dengan menghilangkan kata “atau”, sehingga memperkuat bahwa perusahaan harus wajib mengantongi IUP dan HGU sebagai syarat utama dalam menjalankan bisnisnya.
Syarifudin juga menyarankan untuk BPN Morowali menjalankan wewenang melakukan penelitian dan memeriksa sebagaimana tugas Panitia B dalam pasal 141 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 18 tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah secara substantif, sesuai dengan dengan kewenangannya pada pasal 141 ayat (1) poin b mempunyai tugas untuk meneliti dan mengkaji status tanah, riwayat tanah, dan hubungan hukum antara tanah yang serta kepentingan lain yang berkaitan dengan tanah.
Selain itu Panitia B juga mempunyai tugas untuk meneliti dan melakukan peninjauan fisik atas tanah yang dimohon mengenai penguasaan, penggunaan/keadaaan tanah serta batas bidang tanah yang dimohon. Lebih lanjut Panitia B juga mempunyai tugas untuk mencatat sanggahan/keberatan dan hasil penyelesaiannya. Sehingga berdasarkan aturan ini mestinya terdapat hasil penyelesaiannya dari keberatan yang dilayangkan oleh warga.
Kemudian jika perusahaan mengajukan perpanjaangan izin ataupun pembaharuan izin, tentu harus ditinjau dengan kepatuhan terhadap kebijakan Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah Pasal 27 menyebutkan bahwa pemegang HGU berkewajiban untuk Memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling sedikit 20 persen dari luas tanah yang diberikan hak