Infoselebes.com, Banggai - Puluhan petani Desa Bukit Jaya, Kecamatan Toili, memperjuangkan hak atas tanah yang mereka garap selama bertahun-tahun, yang kini diklaim sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS). Dalam tuntutannya, para petani menegaskan perlunya keadilan dan dukungan hukum dari pemerintah agar mereka dapat tetap mempertahankan mata pencaharian di tanah kelahiran mereka.
“Kami sudah menggarap lahan ini sejak lama, menanam kelapa, cengkeh, dan kakao untuk menghidupi keluarga. Sekarang tiba-tiba tanah kami diklaim masuk HGU perusahaan. Ini sangat tidak adil,” tegas Yono, salah satu petani Bukit Jaya, pada Jumat (8/11/2024).
Tidak hanya menghadapi klaim lahan, para petani juga merasa terintimidasi oleh keberadaan aparat Brimob yang menjaga areal HGU tersebut. Kehadiran aparat dianggap semakin memperkuat kesan bahwa kepentingan perusahaan lebih diutamakan dibanding kesejahteraan rakyat setempat. “Kami hanya ingin bertani untuk hidup, tetapi kami malah merasa seperti orang asing di tanah sendiri,” ujar Yono dengan nada getir.
Ironisnya, HGU 01 yang dipegang PT KLS sebenarnya telah berakhir masa berlakunya pada tahun 2021. Berdasarkan aturan, perusahaan tidak berhak lagi melakukan aktivitas di area tersebut. Namun, pihak perusahaan tetap melanjutkan operasional tanpa kejelasan perpanjangan izin. “Kami menolak perpanjangan HGU PT KLS karena banyak lahan warga yang seharusnya tidak termasuk,” tandas Yono.
Dalam aksi yang digelar pada Senin lalu, para petani dari berbagai desa, termasuk Toili dan Toili Barat, menggelar unjuk rasa di beberapa lokasi penting, seperti Kantor DPRD Banggai, Kantor Bupati, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Massa mendesak agar pemerintah dan BPN lebih berpihak kepada rakyat dan tidak lagi membiarkan perampasan lahan yang dilakukan perusahaan.
“Kami meminta BPN dan pemerintah berdiri di sisi rakyat. Kedaulatan ada di tangan rakyat, maka tanah ini harus untuk rakyat, bukan untuk PT KLS,” seru Yono. Para petani berharap pemerintah segera mengambil tindakan tegas untuk menghentikan konflik agraria yang terus berlarut akibat ekspansi lahan perusahaan sawit yang kian mengabaikan nasib masyarakat sekitar.
Aksi ini menjadi cermin dari konflik agraria yang tak kunjung usai di Indonesia. Keberadaan izin HGU yang kerap dijadikan tameng oleh perusahaan besar seringkali menimbulkan kerugian di pihak masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam. (**)