Morowali – Debat publik kedua Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Morowali yang digelar KPU Morowali pada Sabtu malam (02/11/2024) di Gedung Serba Guna Ahmad Hadie, Jalan Kepiting, Kelurahan Matano, Kecamatan Bungku Tengah, menjadi ajang adu tajam visi antar-paslon terkait penanganan kemiskinan. Pasangan calon nomor 2, KUSUKA, melalui juru bicaranya, menegaskan hanya mereka yang benar-benar memahami fungsi data dalam menyusun kebijakan publik.
“Dalam debat ini, hampir semua paslon berbicara soal data, terutama data kemiskinan. Namun, jika kita lihat secara utuh, hanya KUSUKA yang memiliki data lengkap dan memahami fungsinya dengan tepat,” ungkap jubir KUSUKA.
Jubir KUSUKA merinci, ada dua sumber data kemiskinan yang digunakan dalam debat: data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial. Data BPS 2023 mencatat angka kemiskinan di Morowali sebesar 12,31% atau sekitar 21.149 jiwa. Sementara itu, data DTKS menunjukkan angka yang jauh lebih besar, yaitu 74.244 jiwa. Perbedaan ini, menurut jubir KUSUKA, tidak sepenuhnya salah, tetapi lebih disebabkan oleh pendekatan dan tujuan berbeda dari masing-masing data.
“Data BPS itu sifatnya makro, menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), yang lebih tepat untuk evaluasi program. Sedangkan data dari Kementerian Sosial bersifat mikro dan lebih cocok untuk intervensi individual. Di sinilah kesalahan pemerintah selama ini: menggunakan data BPS untuk menyusun program yang sebenarnya butuh data mikro,” lanjutnya.
Lebih jauh, jubir KUSUKA juga menyoroti peran harga gas Elpiji sebagai salah satu pemicu peningkatan angka kemiskinan di Morowali, yang dianggap tidak disadari oleh beberapa paslon lain. “Contoh soal data, salah satu pemicu peningkatan angka kemiskinan di Morowali adalah mahalnya harga gas Elpiji. Ada paslon yang terkesan meremehkan masalah ini, menganggap seolah-olah tidak ada korelasi antara harga gas Elpiji dengan kemiskinan. Padahal, gas Elpiji adalah bagian dari program konversi yang dicanangkan pemerintah pusat. Kalau dulu kenaikan BBM selalu menjadi pemicu naiknya harga-harga sembako, setelah konversi, sekarang harga gas yang jadi sumbernya. Kenaikan harga sembako yang tidak sebanding dengan peningkatan daya beli masyarakat itulah yang kemudian terbaca dalam data kemiskinan kita,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa bahkan dengan menggunakan data BPS yang makro, fenomena tersebut tetap terlihat, karena pendekatannya mengukur kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk sembako.
“Kedepannya, pemerintah Morowali harus memprioritaskan penggunaan data mikro agar sasaran program pengentasan kemiskinan dapat lebih luas dan tepat sasaran,” tegasnya. Menurutnya, pendekatan KUSUKA berbeda dengan paslon lain karena basis program mereka berakar pada data yang mendalam, yang dapat menjangkau kelompok masyarakat miskin lebih luas.
Jubir KUSUKA menambahkan, tanpa pemahaman yang benar akan fungsi data, program pengentasan kemiskinan berpotensi menjadi sekadar formalitas. “Jika basis datanya saja sudah keliru, maka seluruh program yang disusun, terutama terkait pengentasan kemiskinan, tidak akan efektif,” pungkasnya.
Dengan pemahaman data yang mendalam, KUSUKA memperlihatkan pendekatan yang lebih strategis dalam mengatasi kemiskinan di Morowali. (***)