Ketika Kepentingan Politik Mengangkangi Konstitusi
Oleh : Alfandy Ahmad Eyato
Mahasiswa Sistem Informasi, Universitas Bina Sarana Informatika Jakarta
infoselebes.com, Mahkamah Konstitusi (MK) bukanlah lembaga yang bertugas membuat undang-undang. Tugas utama MK adalah menjaga konstitusi dan memastikan setiap aturan yang dibuat oleh lembaga legislatif sejalan dengan UUD 1945. Peran ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan menegakkan prinsip-prinsip hukum yang mendasari negara kita.
Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, setiap putusan MK bersifat final dan mengikat. Artinya, semua lembaga negara, termasuk DPR dan pemerintah, wajib mematuhi keputusan ini tanpa terkecuali. Mengabaikan putusan MK bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga tindakan yang merongrong fondasi konstitusi yang menjadi dasar negara kita.
Namun, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk menganulir Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 menjadi ancaman serius bagi supremasi hukum. Setelah MK memutuskan bahwa aturan syarat pencalonan kepala daerah harus diubah untuk memperkuat demokrasi, respons dari pemerintah dan DPR justru mengecewakan.
Alih-alih mematuhi putusan tersebut, pemerintah dan DPR terlihat berusaha mencari celah untuk mempertahankan aturan yang cenderung menguntungkan partai-partai besar dalam pemilihan kepala daerah. Langkah ini jelas menunjukkan adanya pengaruh kuat dari kepentingan politik yang sempit.
Masalah ini menjadi semakin jelas ketika kita melihat bagaimana ambang batas pencalonan kepala daerah sering kali menjadi penghalang bagi kandidat independen atau partai kecil. Dengan mempertahankan aturan ini, partai besar terus mendominasi kekuasaan di tingkat daerah, menghambat masuknya calon-calon alternatif yang mungkin lebih berpihak pada kepentingan rakyat.
Keputusan untuk mempertahankan aturan tersebut bukanlah langkah yang mendukung demokrasi. Sebaliknya, pemerintah dan DPR lebih memilih untuk mengakali undang-undang demi mempertahankan kekuasaan yang sudah mereka genggam, ketimbang menyambut peluang untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Langkah ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang tujuan sebenarnya dari revisi undang-undang ini. Apakah perubahan ini benar-benar dilakukan untuk kepentingan rakyat, atau hanya untuk melindungi kepentingan politik kelompok tertentu yang ingin mempertahankan kekuasaan?
Di sinilah kita melihat bagaimana kepentingan politik dapat mengalahkan kepentingan demokrasi dan supremasi hukum. Padahal, dalam sebuah negara hukum, setiap lembaga harus tunduk pada undang-undang, termasuk pada putusan MK yang merupakan puncak dari sistem peradilan kita.
Jika keputusan politik lebih diutamakan daripada putusan hukum yang sah, maka kepercayaan publik terhadap sistem hukum kita akan runtuh. Pemerintah dan DPR sedang mengarah pada regresi demokrasi jika mereka terus mengabaikan putusan MK yang bertujuan memperbaiki ketidakadilan dalam sistem hukum kita.
Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting sebagai pengawas konstitusi dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara. Namun, jika putusan MK tidak dihormati oleh lembaga-lembaga tinggi negara, maka fungsi pengawasan ini akan hilang, membuka jalan bagi munculnya otoritarianisme.
Kita semua harus waspada terhadap upaya-upaya yang mengancam peran MK dalam menjaga konstitusi. Pemerintah dan DPR harus bertanggung jawab kepada rakyat, dan kepentingan rakyat harus menjadi prioritas utama, bukan kepentingan politik sempit yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Mengabaikan keputusan MK adalah bentuk pelecehan terhadap sistem hukum yang kita junjung tinggi. Ini merupakan ancaman langsung terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi landasan berdirinya negara kita.
Dari sudut pandang hukum, pemerintah dan DPR tidak memiliki dasar yang kuat untuk menganulir putusan MK. Jika MK membatalkan atau mengubah suatu undang-undang, maka perubahan tersebut harus diikuti oleh pemerintah dan DPR dalam merevisi undang-undang yang relevan.
Mengabaikan putusan MK akan membuat undang-undang yang dihasilkan menjadi tidak konstitusional dan dapat digugat kembali di MK. Hal ini akan menciptakan siklus yang merusak dan menambah beban bagi sistem hukum kita yang sudah kompleks.
Lebih jauh lagi, mengabaikan keputusan MK menciptakan preseden yang sangat berbahaya. Jika lembaga negara lain merasa berhak mengabaikan keputusan yudisial yang tidak menguntungkan mereka, maka prinsip checks and balances yang menjadi dasar negara hukum dan demokrasi kita akan runtuh.
Pemerintah dan DPR seharusnya menjadi pelindung demokrasi dan penjaga supremasi hukum. Namun, ketika mereka mengabaikan prinsip-prinsip hukum demi kepentingan politik sempit, maka demokrasi kita benar-benar berada di ujung tanduk.
Keputusan MK harus dihormati, bukan hanya sebagai keharusan hukum, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap konstitusi dan hak-hak warga negara. Negara hukum hanya dapat berfungsi dengan baik jika hukum dihormati, dan kepentingan politik tidak mengalahkan nilai-nilai konstitusi yang paling mendasar.
Editor : Sofyan