Opini Oleh : Mohammad Sofyan
Pertambangan
Emas Tanpa Izin (PETI) di Sulawesi Tengah telah menjadi momok menakutkan bagi
keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat di daerah ini. Aktivitas pertambangan
ilegal ini tidak hanya menghancurkan ekosistem secara masif tetapi juga
menciptakan ancaman jangka panjang yang sangat berbahaya bagi generasi mendatang.
Ironisnya, penegakan hukum terhadap pelaku utama atau cukong yang berada di
balik aktivitas ini masih sangat lemah, menimbulkan kesan bahwa para penegak
hukum tidak memiliki nyali untuk bertindak tegas.
Dampak Ekologis yang
Mengkhawatirkan
Pertambangan
ilegal di Sulawesi Tengah telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat
serius, termasuk:
Deforestasi dan Degradasi Tanah: Penebangan hutan untuk membuka lahan tambang
mengakibatkan hilangnya tutupan hutan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia
dan tempat tinggal flora dan fauna endemik. Tanpa pohon yang menjaga struktur
tanah, risiko erosi dan longsor meningkat secara signifikan, mengancam
pemukiman dan infrastruktur.
Pencemaran Air: Limbah merkuri dan bahan kimia beracun lainnya yang digunakan dalam
proses penambangan mencemari sumber-sumber air. Pencemaran ini tidak hanya
merusak habitat akuatik, tetapi juga berdampak langsung pada kesehatan
masyarakat yang bergantung pada sungai dan air tanah untuk kebutuhan
sehari-hari. Kandungan merkuri yang tinggi dapat menyebabkan keracunan yang
berbahaya bagi manusia dan hewan.
Erosi dan Longsor: Pembukaan lahan tanpa izin seringkali dilakukan tanpa memperhatikan aspek
konservasi tanah, mengakibatkan erosi dan longsor yang merusak infrastruktur
dan lahan pertanian. Hal ini menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi
masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada pertanian.
Gangguan pada Ekosistem: Perusakan habitat alami mengganggu keseimbangan
ekosistem lokal, mengancam keberlangsungan hidup berbagai spesies hewan dan
tumbuhan. Kehilangan keanekaragaman hayati ini dapat berdampak luas pada rantai
makanan dan ekosistem yang lebih besar.
Pengamatan Redaksi Media Info
Selebes
Menurut
pengamatan Redaksi Media Info Selebes yang dilakukan melalui berbagai sumber
dan hasil investigasi lapangan, situasi PETI di Sulawesi Tengah semakin
mengkhawatirkan. Di Desa Kayu Boko meningalkan kerusakan ekologis yang
mendalam dan Desa Air Panas, Kabupaten Parigi Moutong, aktivitas PETI semakin
marak, menyebabkan sungai-sungai yang dulunya jernih kini tercemar berat oleh
merkuri dan bahan kimia lainnya. Hasil investigasi menunjukkan bahwa lahan
pertanian di sekitar lokasi tambang juga menjadi tidak subur, mengancam
keberlanjutan hidup masyarakat setempat yang bergantung pada hasil pertanian.
Investigasi
lebih lanjut mengungkapkan bahwa meskipun banyak pekerja tambang ditangkap
dalam operasi penertiban, cukong-cukong besar yang mendanai operasi ini tetap
bebas, dilindungi oleh jaringan yang kuat dan kompleks. Hal ini menimbulkan
ketidakpuasan dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat terhadap aparat
penegak hukum.
Keberanian Hukum yang Diuji
Sayangnya,
penegakan hukum terhadap pertambangan ilegal seringkali hanya menyasar para
pekerja lapangan atau kaki tangan, sementara cukong atau pemodal besar yang
berada di balik layar tetap tidak tersentuh. Hal ini memunculkan persepsi di
kalangan masyarakat bahwa aparat penegak hukum tidak memiliki keberanian atau
mungkin terlibat dalam praktik korupsi yang melindungi cukong-cukong tersebut.
Dasar Hukum Penegakan Aturan Pertambangan Ilegal di Indonesia
Indonesia
sebenarnya memiliki kerangka hukum yang kuat untuk menindak pertambangan
ilegal, di antaranya:
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara: Pasal 158 menetapkan
bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup: Mengatur tentang kewajiban setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan untuk mematuhi standar baku lingkungan hidup dan ketentuan yang
berlaku.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang: Mengatur tentang
kewajiban pelaku usaha pertambangan untuk melakukan reklamasi dan pascatambang
sebagai bagian dari pemulihan lingkungan.
Contoh Kasus PETI di Sulawesi
Tengah
Pada tahun 2024, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tengah menetapkan Direktur Utama dan Komisaris PT. GPS sebagai tersangka dalam kasus PETI di Morowali Utara. Mereka dituduh melakukan penambangan tanpa izin di area hutan dan wilayah IUP PT. Bumanik. Dalam penindakan ini, polisi menyita alat berat dan material nikel senilai miliaran rupiah, komflik antara perusahaan ini merupakan gambaran kecil yang berakibat pada kerugian negara.
Kasus di Dongi-Dongi, Kabupaten Poso
Salah
satu contoh kasus yang mencolok terjadi di kawasan Dongi-Dongi, Kabupaten Poso,
Sulawesi Tengah. Aktivitas penambangan ilegal ini tidak hanya menghancurkan
hutan dan mencemari sungai, tetapi juga menimbulkan konflik sosial di antara
masyarakat lokal dan para pendatang yang terlibat dalam penambangan. Pada tahun
2020, aparat gabungan dari TNI dan Polri melakukan operasi penertiban tambang
ilegal di wilayah ini. Ratusan penambang ditangkap, namun banyak di antaranya
hanyalah pekerja lapangan. Para cukong yang mendanai operasi ini tetap bebas,
dilindungi oleh jaringan yang kuat dan kompleks.
Kasus Longsor di Desa Buranga
Pada Februari 2021, longsor besar terjadi di Lokasi Pertambangan Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong. Longsor ini berakibat menewaskan 5 orang penambang ilegal . Aktivitas penambangan yang tidak terkendali di daerah perbukitan menyebabkan tanah menjadi tidak stabil, meningkatkan risiko bencana alam seperti longsor.
Kasus di Desa Kayu Boko dan Desa Air Panas, Kabupaten Parigi Moutong
Contoh
lainnya adalah aktivitas PETI di Desa Kayu Boko dan Desa Air Panas, Kabupaten Parigi
Moutong. Desa ini menjadi salah satu lokasi penambangan ilegal yang marak,
dengan kerusakan ekologis yang nyata. Sungai-sungai yang dulunya jernih kini
tercemar berat, merusak habitat ikan dan sumber air bagi penduduk setempat.
Tanah di sekitar lokasi tambang juga menjadi tidak subur, mengancam keberlanjutan
pertanian yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat. Upaya penertiban
yang dilakukan oleh aparat seringkali hanya menyentuh pekerja tambang tanpa
menyentuh dalang di balik operasi ilegal ini, menimbulkan ketidakpuasan dan
ketidakpercayaan di kalangan masyarakat.
Kesimpulan
Pertambangan
ilegal di Sulawesi Tengah adalah ancaman serius yang memerlukan penanganan
tegas dan berani dari semua pihak, terutama penegak hukum. Kerusakan ekologis
yang ditimbulkan memiliki dampak jangka panjang yang sangat merugikan,
sementara keberanian penegak hukum dalam menindak cukong-cukong besar harus
ditingkatkan untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan keberlanjutan
lingkungan serta kesejahteraan masyarakat.
Penegakan
hukum yang adil dan tegas berdasarkan dasar hukum yang ada merupakan langkah
penting untuk mengatasi masalah ini. Masyarakat juga harus dilibatkan dalam
pengawasan dan pelaporan aktivitas ilegal, serta diberdayakan untuk mendukung
upaya konservasi lingkungan. Hanya dengan upaya kolektif dan keseriusan dalam
penegakan hukum, Sulawesi Tengah dapat terbebas dari cengkeraman pertambangan
ilegal yang merusak.