Infoselebes.com. Morut - Maraknya investasi berskala besar acapkali membuat masyarakat adat sering tersingkir dari tanah leluhurnya. Belum lagi perampasan wilayah adat disertai dengan kriminalisasi, menambah deretan panjang melemahkan eksistensi masyarakat adat secara sistematis.
Hal itu mencuat dalam seminar dan lokakarya dengan tema " Merumuskan Kebijakan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Taa Wana Di Kabupaten Morowali Utara ".
Bertempat di Hotel Bogenvil, Kolonodale (11/1/23). Kegiatan yang di gagas Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Taa Wana tersebut, dibuka oleh Bupati Morut, Delis Julkarson Hehi yang diwakili Asisten I, Krispen H Masu.
Jabar Lahadji mantan Ketua Bapemperda DPRD Kabupaten Morowali yang menjadi salah satu narasumber pada kegiatan itu menuturkan bahwa, dalam catatan sejarah, masyarakat adat Taa Wana sangat termajinalkan bahkan mengalami pemaksaan, misalnya dipaksakan untuk pindah dari atas pegunungan ke bagian pesisir. Belum lagi penguasaan tanah skala besar dengan diterbitkan izin usaha pertambangan.
" Maka ketika Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Morut ini akan dirumuskan, harus partisipatif dan tentunya menimbangkan unsur sosiologisnya maupun Historisnya" ucapnya.
Jabar juga menjelaskan, pada tahun 2012 melalui insiatif DPRD kala itu, telah ada Perda tentang pengakuan masyarakat adat Taa Wana, namun pada saat itu Kabupaten Morowali Utara belum dimekarkan, masih gabung dengan Kabupaten Morowali.
" Sehingga Perda tersebut cakupannya berada di Kabupaten Morowali," ungkapnya.
Di kesempatan yang sama Ketua Dewan AMAN Daerah Taa Wana, Yulin Lae menilai bahwa maraknya investasi perkebunan dan pertambangan yang melakukan eksplorasi, membuat masyarakat suku terasing khususnya Taa Wana tersingkir dari tanah leluhurnya.
" Kami mendesak kepada Pemerintah Daerah agar di tahun 2024 ini bisa tercipta produk hukum Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Morut," tekannya.
Pemerhati Masyarakat Adat Sulawesi Tengah, Noval A. Saputra dalam pemaparannya mendukung terbentuknya Perda perlindungan dan pengakuan masyarakat Adat di Kabupaten Morut. Dikatakannya, Masyarakat adat Taa Wana kesehariannya banyak menyandarkan hidupnya sebagai petani.
Disisi lain ekspansi kapitalisme modal dalam bentuk penguasaan tanah skala besar seringkali merampas dan menyingkirkan masyarakat adat taa wana dari wilayah adatnya. Negara lebih mengistimewakan korporasi dalam menguasai sumber daya alam, ketimbang masyarakat adat yang secara turun temurun telah hidup dan berkembang.
Terkait Perda masyarkat adat. Noval menyebut sejumlah daerah di Sulawesi Tengah telah memiliki Perda tersebut, seperti di Kabupaten Sigi ada Perda Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
Selanjutnya, Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Suku Wana serta Peraturan Daerah Kabupaten Tojo Una-Una Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengukuhan Masyarakat Adat Tau Taa Wana.
“Itu beberapa daerah yang telah punya Perda, sekarang kita tinggal menunggu lahirnya Perda masyarakat adat di Kabupaten Morut,” katanya.
Samsir