Infoselebes.com. Morowali - Terkait maraknya sengketa lahan antara warga dengan pihak PT BTIIG Morowali. Aktivis agraria Eva Bande menjelaskan bahwa UUD 1945 menjamin hak-hak konstitusional rakyat Indonesia atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir kelompok.
Perempuan yang selalu bersuara lantang tentang keadilan agraria ini mangatakan, bahwa kemegahan asing di Indonesia mampu memonopoli tanah dan mengeruk kekayaan alam nasional bahkan merampas serta menyikirkan petani dari sandaran hidupnya tanah.
" Ini adalah bentuk praktek penjajahan gaya baru, yang dipertontonkan oleh Korporasi (perusahaan) dalam mencaplok tanah-tanah rakyat,' tegasnya. (18/12/23)
Sehingganya, Pemerintah tidak harus menutup mata terkait persoalan konflik agraria yang makin menggurita khususnya di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara. Mereka yang duduk disinggasana kekuasaan harusnya mengevaluasi perusahaan-perusahaan yang mengambil serta mengklaim secara sepihak tanah-tanah para petani.
Diketahui konflik agraria yang terjadi dilingkar PT Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG) Morowali seakan tak pernah habisnya. Sebelumnnya juga, perusahaan pengelolaan biji nikel tersebut bersiteru dengan kelompok ahli waris Almarhum Ma'ruf.
Dalam keterangan tertulis yang diterima media ini, Ikhsan Arisandhy sebagai kuasa ahli waris menjelaskan, Pada sekitar tahun 1989, Ma’ruf (Almarhum) mulai tinggal dan berdomisili di desa Topogaro.
Selama berdomisili di desa Topogaro, Almarhum mulai melakukan pembelian atas tanah milik warga desa Tondo dan desa Ambunu, yang berlokasi di lahan PKMT tersebut. Dalam kurun waktu tahun 1996 sampai dengan 1999, Almarhum Ma’ruf telah membeli tanah dengan total luas 11 (sebelas) Ha.
Semasa hidup Almarhum, lahan tersebut dimanfaat (diolah) menjadi lahan perkebunan dan persawahan. Ada yang diolah sendiri dan ada yang dipinjam pakaikan kepada salah satu kerabat atas nama Mandenga yang memanfaatkan sebagian lahan tersebut untuk persawahan.
Pada tahun 2013, perusahaan Kacang Garuda pernah melakukan penggusuran terhadap tanah mlik Almarhum Ma'ruf untuk kepentingan proyek mereka, namun mendapatkan perlawanan dari pihak Almarhum sehingga proyek tersebut gagal dilaksanakan.
Pada masa Ma'ruf dan Isteri mulai sakit, beberapa bagian lahan tersebut dijual untuk keperluan pengobatan. Dan sampai Almarhum meninggal dunia pada tahun 2017, tanah seluas 11 Ha tersebut hanya tersisa 7.5 Ha.
Selanjutnya pada tahun 2022, salah satu anak Almarhum Ma’ruf melepaskan hak atas tanah kepada pihak PT. BTIIG seluas 1,5 Ha. Sehingga hanya tersisa 6 (enam) Ha, yang semuanya berada di areal persawahan (lahan basah).
Sengketa atas tanah seluas 6 Ha itu sendiri mengemuka setelah pihak PT BTIIG melakukan penggusuran di lokasi tanah tersebut. Pihak ahli waris yang merasa keberatan pun melakukan aksi penghadangan.
pihak perusahaan mengklaim bahwa tanah tersebut telah mereka beli dari beberapa orang warga yang juga mengaku memiliki hak atas tanah tersebut.
" Bahwa dengan demikian, seluruh kegiatan PT. BTIIG diatas tanah milik Almarhum Ma’ruf merupakan tindakan penyerobotan dan pengrusakkan," ucap Ikhsan sebagai kuasa ahli waris.
Samsir