Notification

×

Iklan

Iklan


Masyarakat Adat Tangkop Jaga Tradisi Budaya " Molabot Tumpe" Di Tengah Kepungan Perusahaan Batu Gamping

Senin, 27 November 2023 | November 27, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-11-27T11:01:45Z

Infoselebes.com. Bangkep
- Di tengah persiapan menyambut festival tradisi adat malabot tumpe yang akan dihelat pada 3 Desember nanti. Masyarakat adat di Desa Tangkop Kecamatan Liang Kabupaten Bangkep diresahkan dengan rencana masuknya pertambangan batu gamping atau batu kapur di wilayah mereka.

Tak tanggung-tanggung 5 perusahaan akan melakukan eksploitasi di Desa Tangkop diantaranya PT. Estetika Karya Abirama luasan 99 ha, PT. Sinergi Tambang Mandiri 161 ha, PT. Kapur Alam Mandiri 198 ha, PT. Prima Asia Limeston 188.00 Ha dan satu perusahaan PT Maleo Berkah Jaya luasan 99 Ha di Desa Binuntuli berdekatan dengan Desa Tangkop.

Dalam peta kawasan konsesi, ke-5 perusahaan itu mempunyai luasan secara keseluruhan 745 Ha. Hal ini tentunya menjadi ancaman terhadap kelangsungan masyarakat setempat. Karna ketika beroperasi perusahaan, maka akan berdampak pada ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. 

Kapala Desa Tangkop Mustarif Moidady mengatakan, wilayah yang dipimpinnya tersebut mempunyai jumlah jiwa 315. Masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan dan petani. Untuk potensi sumber daya alam terdapat emas dan batu hitam (galena).

" Sekitar 15 tahun yang lalu ada penambangan emas secara tradisional, namun saat ini sudah tidak ada lagi," cerita Kades Tangkop.

" Bisa jadi tidak hanya batu gamping yang dikelola oleh Perusahaan, namun juga terikut dengan emas dan batu hitam (galena)," ungkapnya.

Disisi lain, Desa Tangkop pada tahun 2022 kemarin, meraih Trofi dan Sertifikat Program Kampung Iklim (Prokilim) dalam gelaran Festival Iklim oleh Kementerian LHK Republik Indonesia.

Sehingga, menurut Kades ini tidak sejalan dengan masuknya perusahaan batu gamping yang akan berdampak pada lingkungan disekitarnya. Apalagi masyarakat Desa Tangkop selama ini masih menjaga tradisi dan budaya leluhur.

" Masuknya 5 Perusahaan batu gamping tersebut, akan menggerus tradisi dan wilayah adat yang ada di Desa Tangkop," kata Mustarif.


Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah Yusman menegaskan, masuknya 5 perusahaan tambang batu gamping di Desa Tangkop dan Desa Binuntuli Kecamatan Liang akan berdampak bagi lingkungan sekitar dan Kehidupan. 

Jika di lihat dari topografi wilayahnya, letak dua desa tersebut berada paling ujung dan berada di tanjung yang menyerupai pulau, ini akan sangat rentan jika di tambang bukan hanya di daratan akan tetapi di wilayah pesisir.

"Apalagi tangkop merupakan salah satu penghasil ikan terbesar di Kabupaten Bangkep," ucapnya.

Lebih lanjut Yusman mengatakan, berdasarkan analisis spasial hampir sebagian besar kurang lebih 75% daratan tanjung tersebut di tutupi konsesi tambang. Memanjag dari sisi selatan hingga ke utara dari pesisir pantai. Jika tambang akan beroperasi ekosistem laut akan tercemari oleh limbah tambang, seperti tumpahan bahan bakar dan sedimentasi tanah dari penggusuran semua pasti jatuhnya kelaut. 

Masyarakat sangat memanfaatkan wilayah pesisir sebagai sumber pangan mereka untuk mencari ikan. Selain itu juga karst yang menjadi objek untuk di tambang, memiliki daya menyerap air hujan yang cukup besar, sehingga menghasilkan sumber sumber mata air yang dapat di manfaatkan oleh masyarakat sekitar.


" Jika di tambang otomatis sumber air akan hilang, belum lagi debu yang akan di hirup oleh masyarakat setiap harinya dan pembukaan lahan skala luas akan menyebabkan terjadinya longsor. Tidak ada penambangan batu gamping yang tidak menggunakan metode blasting atau peledakan, ini juga sangat beresiko bagi anak anak, balita dan lansia. Setiap saat akan ada ledakan dan getaran," jelas Yusman.

Sementara itu, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah, Moh Taufik menjelaskan, berdasarkan catatan akhir tahun 2022 kemarin. Setidaknya ditemukan ada 164 izin tambang tersebar di Pulau-pulau kecil seluruh Indonesia.

Sejumlah Pulau kecil itu saat ini mengalami kerusakan akibat eksploitasi tambang. Pulau kecil itu misalnya, Pulau Obi, Pulau Pakal, Pulau Gebe, dan Pulau Mabuli di Maluku Utara. Pulau Wawoni di Sulawesi Tenggara, Pulau Sangihe di Sulawesi Utara, Pulau Kodingareng di Sulawesi Selatan, serta Pulau Bunyu di Kalimantan Utara.

Kata Taufik, eksploitasi alam di pulau kecil dapat dikategorikan kejahatan lingkungan, mengingat kerentanan ekologis yang tinggi dan daya pulih yang rendah. Artinya begitu ada kerusakan disalah satu bagian pulau, dampaknya akan meluas secara cepat diseluruh pulau dan sulit dipulihkan. 

Apalagi khususnya di Kabupaten Banggai Kepulauan yang notabenenya 95 persen berupa karst. Maka ini menjadi incaran perusahaan untuk melakukan penambangan batu gamping.

" Setidaknya dalam catatan JATAM Sulteng terdapat 28 perusahaan yang bermohon izin untuk melakukan eksploitasi di Pulau Peling tersebut," ungkapnya.

Lanjut Taufik, hal ini tentunya menjadi ancaman bagi keberlangsungan ekosistem karst yang ada di Bangkep. Apalagi terdapat Peraturan Daerah  Nomor 16 tahun 2019 yang mengatur tentang perlindungan ekosistem karst itu sendiri. Maka secara regulasi ini akan berbenturan. Disisi lain masyarakat akan terkena dampak lingkungannya ketika perusahaan beroperasi, karna mengingat beberapa konsesi tambang berdekatan dengan areal pemukiman.


Penulis Samsir
gubernur gubernur gubernur gubernur gubernur gubernur gubernur
gubernur
Iklan-ADS

close
Banner iklan disini